TUGAS
ILMU BUDAYA DASAR
ADAT
PERNIKAHAN MINANGKABAU (PADANG)
NAMA KELOMPOK:
VENY MELINDA
ZUHA MAIWA
RIZKY
KATA PENGANTAR
Puji syukur
saya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada
saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik adapun makalah yang saya buat ini mengenai adat
pernikahan minangkabau (padang ) .
Makalah ini
diajukan guna memnuhi tugas ilmu budaya dasar .saya mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat di selesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karna mungkin
makalah ini masih ada keslahan serta kekurangan. Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Khususnya dibidang kebudayaan,
sehingga kita terpanggil dan tergerak untuk lebih melestarikan kebudayaan yang
telah ada.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB1 PENDAHULUAN
1.1
Fungsi
Pernikahan
BAB2 PEMBAHASAN
1.1
Perkawinan
Adat Minangkabau
1.2
Perkawinan Eksogami
1.3
Urutan Acara
1.4
Malam Binai
BAB3 PENUTUP
1.1
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi Pernikahan
Manusia dalam
perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita
sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah
usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa
perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari
satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau
adalah pada saat menginjak masa perkawinan.
Masa perkawinan
merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok
keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara
rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian
perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran
kelompok. Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
- Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara
pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang
negara.
- Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan
atas suami istri dan anak-anak.
- Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup
status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
Memelihara kelangsungan
hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber
: Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan
Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat
dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian
dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara
pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara
kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik
asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan
lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan,
kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan
keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam
pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu
tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan
tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara
adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan
adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat
Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua
aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan
sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat
maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi
yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman
yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat
berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan
Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam
bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu
dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan
yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam
bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon
mempelai harus beragama Islam.
a. Kedua calon
mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
b. Kedua calon
mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua
belah pihak.
c. Calon suami
(marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin
kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang
dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu
masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus
dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando,
akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan
upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang
menganggap bahwa“Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini
diyakini hanya “sekali” seumur hidup. (Sumber : Adat
Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang).
2. Perkawinan
Eksogami
Menurut ajaran Islam
sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal
yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita.
Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan
mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan
berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak
ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh
anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak
mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang
jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang
Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki
yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan
hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam
penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak
ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak
diperbolehkan. Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas
suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan
istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian
yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan
luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau
orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami
keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang
mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami
marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang
sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”. Adat Minang
menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang
serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis
ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis
ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami
matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan,
para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat
mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan
dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama
dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah“sasuduik”. Pengamatan
kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di
Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga
sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di
nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang
dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya“Suduik
nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku
Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini
dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan
perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena
dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun
sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut
di Minangkabau. Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini
tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik
nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam
nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang
tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di
Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau. Pengertian serumpun
yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas
atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun”semakin “sempit” arena
perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi
muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya
bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari
Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak
yang kawin ke luar “nagari”,bahkan sudah ada yang sampai ke luar
negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau
tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial” akan
mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil
dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila
kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau
khususnya.(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang).
3. Urutan Acara
Pembicaraan dalam
acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak
keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak
dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara
simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah
pihak saat ini.
1. Melamar =>
menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak
keluarga si pemuda
2. Batuka tando
=> Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
3. Baretong =>
Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon
pengantin pria waktu akan dinikahkan
4. Manakuak hari
=> Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang
lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa
oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali
sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga
pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama
itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk
memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut
lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda
menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu. Acara
maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang
praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti
yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan
dalam satu kali pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat
Minangkabau).
A. Minta Izin /
Mahanta Siriah
Bila seseorang pemuda telah ditentukan
jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang
terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon
doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada
kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang
dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat
disebut minta izin. Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah
terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum
keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta
izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya
sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum
akad nikah dilangsungkan.
B. Tata Cara
Pada hari yang telah
ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan (biasanya teman
dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah
isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas.
Setelah menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi
daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula
memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah,
akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan
yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan
kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan
itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh
keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-keluarga yang
didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta
izin secara akrab seperti itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya,
mereka juga merasa terpanggil untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang berguna bagi
orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram gula pasir saja,
sesuai dengan kemampuannya.
C. Tata
Busananya
Untuk melaksanakan
acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua
pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di
Sumatera Barat :
- Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina
berkopiah hitam dan menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis)
- Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang
diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas.
Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu
atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si calon
mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun
nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan
rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan
pertama sebelum membuka kata. Bagi keluarga calon pengantin wanita yang
bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang
dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah
pindang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam
kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan
disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang
didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau).
4. Malam
Bainai
Secara harfiah bainai artinya melekatkan
tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun
inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini
kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang
cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari
sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab
demikian ? Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di
Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga
kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan
partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu
jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua
keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat.
Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu
menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun
dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam
bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat
mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya
melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan. Selain dari tujuan, menurut
kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon
pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung
jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai
kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang
mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya
masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi
berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari
segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada
kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah
tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya
kemana saja. Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang
cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan
mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya
kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah
semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga
diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh
wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan
acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan
menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya.
Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya,
setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan
dinobatkan jadi pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara
ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:
a. Untuk
mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan
masa remajanya,
b. Untuk
memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan
baru berumahtangga,
c. Untuk
menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara
yang sakral, yaitu akad nikah,
d. Untuk membuat
anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan
sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Bagi orang-orang
Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah
lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan
lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu.
Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon
pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh
kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.
A. Tata busana
Untuk melaksanakan
acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut
baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang
dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak
terbuka. Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga
mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan
bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping itu
biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang
sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.
B. Tata cara
Jika acara mandi-mandi
dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah
ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah
sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang
telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan
sebayanya yang berpakaian adat. Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon
anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat
Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang
dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri
dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara
laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan
oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk
melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya
yang wanita. Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit
dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem
kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako
yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia juga berkewajiban untuk
melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat
merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan
secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk
memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon
pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari
keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil.
Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya
adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan
nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan
peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling
diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan
Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada
beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram
dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti
dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu
orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka,
dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman
tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun
sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar
maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut
daun sitawa sidingin. Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu
bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya
melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan.
Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari
kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah diatur sangat pelan-pelan
sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung
nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan
dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam
itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa,
karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya.
Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro,
segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi
memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung
harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu
cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu
karena maut yang memisahkan mereka.
Wartawan :
assalamualaikum, selamat siang,bu?
Narasumber :
walaaikumsalam selamat siang juga.
Wartawan : maaf sebelumnya mengganggu sebentar
waktu ibu, kami mau mewawancarai tentang
bagaimana proses pernikahan adat minang bu
Narasumber :
iya, tidak apa-apa silahkan saja.
wartawan :
kami mulai saja ya buuu
Wartawan : ada
berapa jenis adat pernikahan minang ini bu?
Narasumber : pernikahan adat minang ada dua, yang
pertama yaitu pernikahan menyemblih
kambing dan yang kedua pernikahan menyemblih sapi perbedaan nya kalau
yang menyemblih kambing itu dilakukan oleh orang yg kurang mampu atau dengan
cara sederhana sedangkan menyemblih sapi dilakukan bagi orang yang mampu
Narasumber : yang harus dilakukan pertama kali sebelum
pernikahan yaitu mengunjungi paman(manjalang mamak) maksudnya adalah paman dari pihak perempuan
mengunjungi paman dari pihak laki-laki untuk membuat rncana pernikahan kapan
akan diadakann pernikahan tersebut.
Wartawan
: apa saja yang harus dipersiapkan
selama proses awal hingga dimulainya pernikahan?
Narasumber : proses awal hingga dimulainya pernikahan yang pertama yaitu mengunjungi
paman dari pihak perempuan ke pihak laki-laik untuk membuat rencana pernikahan
kapan akan diadakan kemudian baru dilaksanakan pernikahan setelah pernikahan
baru diadakan acara perkawinan atau disebut juga dengan BARALEK
Wartawan :
apakah bolehh apabila salah satu prosesnya tidak dilaksanakan? Kalau boleh
berikan alasannya?
Narasumber
: bolehh saja dengan alasan
persetujuan diantara kedua belah pihak. Apakah sama-sama setuju tidak
melaksanakan/meninggalkan proses tersebut .
Wartawan
: apa perbedaan pernikahan adat
yang dulu dengan yang sekarang ya bu?
Narasumber : perbedaan nya adalah kalau yg dahulu
pihak perempuan boleh tidak hadir sewaktu pernikahan boleh diwakilkan oleh
pihak yang bersangkutan seperti diwakilkan oleh orang tua, tetapi kalau yang
sekarang pihak perempuan harus hadir pada acara pernikahan atau hadir pada
kantor KUA.
Wartawan
: terimakasih banyak bu telah
meluangkan waktu nya
Narasumber : iya, sama-sama
BAB III
PENUTUP
Acara pokok akad nikah
dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan baku Hukum Islam dan
Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin langsung oleh penghulu yang
biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.
Setelah selesai semua acara yang
bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan lagi beberapa acara sesuai dengan
adat istiadat Minang. Diantaranya yaitu :
- Acara Mamulangkan Tando
- Malewakan Gala Marapulai
- Balantuang Kaniang
- Mangaruak Nasi Kuniang
- Bamain Coki
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S Adat Minangkabau : Pola
dan Tujuan Hidup Orang Minang. PT. Mutiara Sumber Widya 2001 Cetakan ke 3.
Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab
Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramith,
Cet 12, 1989
Datuk Usman, SH. Diktat
Kuliah Hukum Adat I, Usu Press
Subekti, R, SH, Prof. Kitab
Unudang-Undang Perdata
Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum
Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Cet 2,1981
Documented: http://cua.vv.cc/makalah/hukum-adat-pernikahan-minangkabau.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar